makalah dalil yang disepakati


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Ushul Fiqh adalah dasar yang dipakai oleh pemikira manusia untuk membentuk hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat. Perkataan dasar yang dipergunakan dalam perumusan ini bukanlan sar dalam pengertian benda seperti dasar (kain untuk baju) misalnya. Akan tetapi dasarialah bahan bahan yang dipergunakan oeh pikiran manusia untuk membuat hukum fiqh yang menjadi dasarnya, ialah:
Al-Qur’an, Sunah Nabi Muhammad SAW (Hadits), Ra’yu atau akal, seperti qiyas dan ijma’ adalah alat yang diginakan oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum tersebut, akan tetapi dala perkembangan kemudian, hasil dari pemikiran rasio (akal) berupa qiyas dan ijma’it diakui sebagai dasar ke-3 dan ke-4, dalam membentuk hukum (telah dibicarakan sepintas kilas dalam pemhasan fiqh dan ilmu fiqh) diatas tersebut.
1.2              Rumusan Masalah
1.1  Apa pengertian dalil?
1.2  Apa saja dalil yang disepakati  ?
1.3              Maksud Dan Tujuan
1.1  Untuk mengetahui dalil-dalil Al-quran dan Al-hadits.
1.2  Untuk memenuhi syarat mendapatkan nilai mata kuliah ushul fiqh.












BAB II
PEMBAHASAN

1.      Definisi Dalil
Ilmu Ushul Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni;
(1) menetapkan suatu hukum berdasarkan dalil dan,
(2) menetapkan dalil bagi suatu hukum.
Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqih tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum. Istilah dalil menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma’nawi).
Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan mengenai definisi dalil yaitu: sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya, baik secara qathi (pasti) atau zhanni (kuat).
Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan mengenai definisi dalil yaitu: sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya, baik secara qathi (pasti) atau zhanni (kuat).
Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan al-Quran dan As-Sunnah sebagai dalil dan berbeda pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai dalil dan ada yang menolaknya atau, ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang selebihnya.
2.      Dalil Hukum yang Disepakati
Berdasarkan penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan empat sumber dalil (Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma, Dan Al-Qiyas) sebagai dalil yang disepakati. Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir (Ijma dan Qiyas). A. Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijma, terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari Bek. Para ulama dari kalangan madzhab Zhahiri (di antara tokohnya adalah Imam Daud dan Ibnu Hazm al-Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan Akhbari tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil yang disepakati.
Untuk lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil yang disepakati yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
A.    Al-Qur’an
a)      Definisi
Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar (infinitif) dari lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”. Sedangkan secara istilah Al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan. 
Al-Qur’an ( القرآن ) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam mepercayai bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yangdisampaikankepada Nabi MuhammadSAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Jadi dapat disimpulkan Al-Qur’an ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw, isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.
b)      Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah dikoreksi oleh Allah.
Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji. Pada setiap problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang sesuai pula dengan zaman. Dengan demikian, al-Qur’an selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorangjuru dakwah abad ke-14 ini, “Islam adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah”.
c)      Hukum-Hukum dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam, yaitu:
Pertama, hukum-hukumi’tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.
Kedua, hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang tercela.
Ketiga, hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama) sesama manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu Ushul Fiqih.
Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
1.      Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
2.      Hukum-hukum mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan ‘uqubat  (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum mu’amalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat. Hukum-hukum selain ibadat menurut syara’ disebut dengan hukum mu’amalat.
Hasil penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an yang berkaitan dengan ibadat dan ahwalus-syakhshiyahsudah terperinci.Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat ta’abudi (ibadat) sehingga tidak banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk menganalisanya dan hukum ini bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah lantaran perubahan suasana dan lingkungan.
Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum perdata, pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyah), internasional (dauliyah) dan ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa al-maliyah), maka dalil-dalil hukumnya masih merupakan ketentuan yang umum atau masih merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang sudah terperinci. Hal itu disebabkan karena hukum-hukum tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatan yang sangat dihajatkan.
Dalam hal ini Al-Qur’an hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang asasi saja agar penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan perundang-undangan dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang dihajatkan pada saat itu, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan (dalil-dalil) dan jiwa syari’at.
d)      Isi pokok Al-Quran ada 3 macam
1.      Rukun iman
2.      Rukun islam
3.      Munakahat (perkawinan)
4.      Dan lainnya.
e)      Dasar-dasar Al-Quran dalam membuat hukum
1.      Tidak memberatkan
2.      Menyedikitkan beban
3.      Berangsur-angsur

B.     As-Sunnah (Hadits)
a.       Definisi As-Sunnah
As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1)      Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya sabda beliau sebagai berikut.
Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR. Malik).
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2)      Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.
3)      Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.
b.      Kehujjahan As-Sunnah
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.
c.       Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.

d.      Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi sebagai berikut.
1)        As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
2)        As-Sunnah sebagai bayan (penjelas)
3)        Takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.”
(HR. Bukhari)



BAB III
                                                                PENUTUP
Kesimpulan
Istilah dalil menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma’nawi).
Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan mengenai definisi dalil yaitu: sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya, baik secara qathi (pasti) atau zhanni (kuat).
Dalil hukum yang disepakati berdasarkan penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan empat sumber dalil (Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma, Dan Al-Qiyas) sebagai dalil yang disepakati. Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir (Ijma dan Qiyas). Yang disepakati disini menerangkan Al-quran dan al-hadits, al-Quran mempunyai definisi, kedudukan al-quran sebagai sumber, hukum-hukum dalam al-Quran, isi pokok serta dasar-dasar yang membuat hukum tersebut sedangkan hadits sendiri mempunyai definisi, kehujjahan As-Sunnah, hubungan As-Sunnah dengan al-qur’an, dan beberapa fungsi as-sunnah terhadap al-quran









DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. A. Karim syafi’i.2001” fiqh ushul fiqih” bandung: pustaka setia
http://muhammadkhairi02.blogspot.co.id/2017//hukum-islam-yang-disepakati-dan-tidak.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah akhlaq mahmudah dan mazmumah

menghilangkan rasa malu