menghilangkan rasa malu
PEMBAHASAN
A.
Menghilangkan
Rasa Malu
Hadits Nabi Muhammad SAW :
إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لاَ
يَسْقُطُ وَرَقُهَا، وَهِيَ مَثَلُ المُسْلِمِ، حَدِّثُونِي مَا هِيَ؟ فَوَقَعَ
النَّاسُ فِي
شَجَرِ البَادِيَةِ،
وَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ:
فَاسْتَحْيَيْتُ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنَا بِهَا؟ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هِيَ النَّخْلَةُ قَالَ عَبْدُ
اللَّهِ: فَحَدَّثْتُ أَبِي بِمَا وَقَعَ فِي نَفْسِي، فَقَالَ: لَأَنْ تَكُونَ
قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يَكُونَ لِي كَذَا وَكَذَا (رواه البخاري)
Artinya: Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya
diantara pohon ada suatu pohon yang tidak jatuh daunnya. Dan itu adalah
perumpamaan bagi seorang muslim". Nabi Saw berkata: "Katakanlah kepadaku,
pohon apakah itu?" Maka para sahabat beranggapan bahwa yang dimaksud
adalah pohon yang berada di lembah. Abdullah berkata: "Aku berpikir dalam
hati pohon itu adalah pohon kurma, tapi aku malu mengungkapkannya. Kemudian
para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, pohon apakah itu?" Beliau
menjawab: "Pohon kurma, lalu aku ceritakan kepada ayaahku apa yang
terbetik dalam hatiku. Ayahku berkata seandainya kamu mengatakannya, akan lebih
aku sukai dari pada aku mempunyai ini dan itu” (HR. al-Bukhari).
1.
Penjelasan
Hadits
Hadits tersebut berasal dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa pada suatu hari Rasulullah
Shalallahualaihi Wasallam memberitahukan bahwa ternyata ada suatu pohon yang
tidak pernah gugur daunnya, dan Rasulullah mengumpamakan seorang muslim sejati
dengan pohon tersebut. Kemudian Rasulullah bertanya kepada para shahabat: “Adakah yang tahu, pohon
apakah itu?”. Semuanya terdiam. Dan merekapun berpikir bahwa pohon itu adalah
pohon yang terletak di pedalaman desa, yang tidak ada di sekitar mereka.
Namun Ibnu Umar berpikir lain, ia menebak dalam
hati bahwa pohon tersebut adalah pohon kurma yang banyak terdapat di sekitar
mereka. Lantas Ibnu Umar pun merasa malu (karena dalam suatu riwayat saat itu
Ibnu Umar masih sangat muda yaitu umur sebelas tahun). Karena tidak ada yang
menjawab kemudian para shahabatpun akhirnya bertanya kepada Rasulullah shalallahualaihiwasallam,
apakah gerangan pohon tersebut?. Maka Rasulullah menjawab: ”Pohon itu adalah
pohon kurma”.
Dalam kitab Fathul Bari dijelaskan bahwa perumpamaan pohon kurma
dengan karakter seorang muslim adalah dilihat dari sisi tidak pernah rontoknya
daun pohon kurma. Jika pohon kurma itu tidak pernah rontok daunnya, maka
seorang muslim yang sejati adalah seorang muslim yang tidak pernah mudah
menyerah dalam berdakwah ataupun berjuang. Dan dari hadits ini pula dapat kita tangkap
suatu kejadian, dimana Ibnu Umar yang terbilang masih muda merasa malu dan
minder ketika akan menjawab pertanyaan dari Rasulullah tersebut. Yang pada
akhirnya ia hanya menyimpan jawabannya dalam hati saja tanpa ada keberanian
untuk mengungkapkannya.
Dan pada satu riwayat, Ibnu Umar menceritakan
hal itu pada Ayahandanya yaitu Umar bin Khattab. Maka Umar pun berkata: “Andai saja engkau tadi
mengungkapkannya, maka itu lebih aku sukai dari pada engkau bercerita kepada
diriku begini dan begini…”. Ini menunjukkan bahwa Umar bin Khattab tidak menyukai apa yang telah
dilakukan putranya, yang merasa malu dan minder karena merasa masih muda dan
berada dihadapan orang yang lebih dewasa. Maka hal ini menunjukkan bahwa
perasaan minder dan malu dalam hal positif tidak diperkenankan dalam Islam.
Dan dalam konteks pendidikan psikis, perasaan minder ini jika dibiarkan
tanpa adanya usaha dari diri sendiri ataupun bantuan dari orang lain (guru),
maka sifat ini akan berdampak buruk bagi psikologis seseorang. Maka kita
sebagai calon guru hendaknya sedini mungkin mengenali sifat minder ini, dengan
harapan bahwa ketika kita mendapati siswa yang punya perasaan minder, kita
mampu membantu mereka untuk mengatasi hal tersebut. Minder sendiri
adalah perasaan diri tidak mampu dan menganggap orang lain lebih baik daridirinya. Orang yang merasa minder cenderung
bersikap egosentris, memposisikan diri sebagai korban, merasa tidak puas
terhadap dirinya, mengasihani diri sendiri dan mudah menyerah. orang yang
mempunyai rasa minder akan merasa lemah, kekurangan, rasa bersalah yang
berlebihan, takut pada orang lain, menarik diri dari lingkungan /pergaulan,
cemas menghadapi sesuatu yang baru, tidak berani menghadapi kenyataan, sukar
mengambil keputusan, takut akan kegagalan.
Sering kali kita lebih menghargai orang lain
daripada diri sendiri. Sikap ini membuat kita menjadi "minder" dan
bahkan mungkin enggan berinteraksi dengan orang lain. Tentu saja sikap
"minder" akan merugikan diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar
kita. Sebab kita tidak bisa membuat diri kita berharga bagi orang lain dan
mendedikasikan talenta ataupun keterampilan kita bagi orang-orang di sekitar
kita. Untuk mengatasi sikap minder tersebut ada satu syarat, yakni menghargai
diri sendiri.
Minder adalah tipikal orang yang bermental
lemah. Mental yang lemah akan merasa selalu tidak aman. Selalu gelisah dan
kuatir. Karena kerja otak sudah dipenuhi dengan rasa kuatir, takut dan gelisah
tanpa sebab atau disebabkan oleh hal-hal kecil, maka kerja otakpun menjadi
lemah dan tidak dapat berfungsi untuk memikirkan hal-hal besar yang bermanfaat
buat diri sendiri dan orang lain.
Ciri-ciri orang yang merasa minder ialah:
a.
Suka menyendiri.
b. Terlalu berhati-hati ketika berhadapan dengan
orang lain sehingga
pergerakannya kelihatan kaku.
pergerakannya kelihatan kaku.
c. Pergerakannya agak terbatas, seolah-olah sadar
bahwa dirinya memang
mempunyai banyak kekurangan.
mempunyai banyak kekurangan.
d. Merasa curiga terhadap orang lain
e. Tidak percaya bahawa dirinya memiliki kelebihan
f. Sering menolak apabila diajak ke tempat-tempat
yang ramai
g. Beranggapan bahwa orang lainlah yang harus
berubah
h. Menolak tanggung jawab hidup untuk mengubah diri
menjadi lebih baik.
Oleh karena itu, minder harus sebisa mungkin dihindari dan dicari
jalan keluarnya dalam rangka mengubah pribadi kita menuju kepribadian yg
self-esteem (baca: self estiim). Suatu tipe kepribadian yang dimiliki orang
yang bisa menggapai mimpi atau suksesnya.
self-esteem (baca: self estiim). Suatu tipe kepribadian yang dimiliki orang
yang bisa menggapai mimpi atau suksesnya.
Penyebab perasaan minder menurut Erwin Arianto adalah:
a. Saat lahir - setiap orang lahir dengan perasaan
rendah diri karena pada
waktu itu ia tergantung pada orang lain yang berada di sekitarnya.
waktu itu ia tergantung pada orang lain yang berada di sekitarnya.
b. Sikap orangtua - memberikan pendapat dan
evaluasi negatif terhadap
perilaku dan kelemahan anak di bawah enam tahun akan menentukan sikap anak tersebut.
perilaku dan kelemahan anak di bawah enam tahun akan menentukan sikap anak tersebut.
c. Kekurangan fisik - seperti kepincangan, bagian
wajah yang tidak
proporsional, ketidakmampuan dalam bicara atau penglihatan mengakibatkan reaksi emosional dan berhubungan dengan pengalaman tidak menyenangkan sebelumnya.
proporsional, ketidakmampuan dalam bicara atau penglihatan mengakibatkan reaksi emosional dan berhubungan dengan pengalaman tidak menyenangkan sebelumnya.
d. Keterbatasan mental - membawa rasa rendah diri
saat dilakukan perbandingan dengan prestasi tinggi dari orang lain.
e. Kekurangan secara sosial - keluarga, ras, jenis
kelamin, atau status
sosial.
sosial.
Dan masih menurut Erwin Arianto, untuk mengatasi
rasa minder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Hadapi rasa takut, jangan dihindari, karena ini
tidak akan berakibat seburuk yang kita kira. Melawan rasa takut akan menambah
percaya diri kita. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
لا يَحِلُ
لِمُسْلِمٍ اَنْ يَرُوْعَ مُسْلِمًا (رواه ابو داود)
“ tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain ”
b.
Hargai diri sendiri sebagai Ciptaan Tuhan, bila kita telah berhasil dalam
berbuat sesuatu. Menghargai diri sebagai ciptaan Tuhan membuat kita tetap
rendah hati walaupun telah diberi kesempatan menikmati banyak kesuksesan.
Menghargai diri sebagai ciptaan Tuhan juga dapat membuat kita lebih tegar dalam
menyikapi kelemahan kita.
c.
Kenali diri. Mengenali diri merupakan bagian tersulit dalam proses
menghargai diri. Mengenali diri merupakan sebuah proses yang menuntut kejujuran
kita dalam melihat dan mengevaluasi diri.
d.
Atasi kelemahan kita. Hal yang satu ini sering kali sulit kita lakukan.
Kita seringkali tidak mau mengakui kelemahan kita. Kita sering kali
mengandalkan penilaian orang lain semata terhadap kelemahan kita sendiri tanpa
melibatkan orang lain, atau cara pandang yang salah terhadap kesuksesan dan
strategi untuk meraih sukses.
e. Lupakan kegagalan masa lalu. Biasanya kegagalan juga dapat membuat kita
merasa minder /rendah diri, tapi yang harus kita lakukan dari kegagalan
belajarlah dari kesalahan itu, tetapi janganlah mengira sesuatu itu salah
sebelum ia akan terjadi lagi.
Dan dalam hal ini Ahmad Tafsir menganjurkan bahwa hendaknya dalam mengatasi
anak yang punya rasa minder, orang tua atau guru mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Melatih anak itu dengan memberikan tanggung
jawab dan memujinya secara wajar.
2. Bantulah mereka agar dapat melakukan sesuatu dengan baik dan bila berhasil
berilah penghargaan yang wajar dan tidak pilih kasih dalam memberikan sesuatu,
sehingga terwujud keadilan di tengah anak-anak. Sebagaimana hadits Nabi SAW:
سَاوَوْا
بَيْنَ اَوْلادِكُمْ فِى الْعَطِيَّةِ ) رواه ابو داو(
“Berlaku
adillah terhadap anak-anak kalian dalam suatu pemberian”
3. Ajarkan kepada mereka bahwa nilai manusia
sebenarnya ada pada Allah, Allah tidak memandang cacat jasmani tidak mengukur
manusia dengan melihat hartanya, tapi Allah melihat sejauhmana ketaqwaan
mereka. Maka menjadi tugas kita untuk menyayangi dan memotivasi saudara kita
yang kurang dalam segi fisik ataupun saudara kita yang dalam keadaan yatim. Sebagimana
sabda Rasulullah SAW:
اَلرَّاحِمُوْنَ
يَرْحَمُهُُمُ الرَّحْمنُ اِرْحَمُوْا مَنْ فِى اْلاَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِى
السَّمَاءِ (رواه ابو داود)
“…….kasihilah mahluk di bumi, niscaya mahluk di
langit akan mengasihi kalian”
2. Nilai Tarbawi
Dari pembahasan hadits di atas dapat kita
temukan beberapa nilai tarbawi, diantaranya adalah:
a. Sebagai seorang muslim kita dianjurkan untuk
mempunyai karakter pantang menyerah dan tidak merasa rendah diri (minder).
b. Sebagai calon guru kita harus mengetahui bagaimana
ciri-ciri siswa yang punya rasa minder, serta bagaimana mengatasi siswa yang
demikian.
c. Sebagai (calon) guru, kita juga harus
memperhatikan kondisi psikis seorang siswa. Apakah ia termasuk anak yang minder
atau tidak?. Dan dengan hal tersebut diharapkan guru bisa membantu perkembangan
psikis siswa, karena kondisi psikis sedikit banyak akan mempengaruhi proses
belajar mereka.
d. Minder adalah sikap yang manusiawi, tetapi
menjadi tidak manusiawi lagi ketika kita tidak berusaha untuk menghilangkan
sikap dan perasaan minder tersebut.
3. Hadits Pendukung
Untuk hadits pendukung ini akan kami cantumkan sebuah hadits yang
diriwayatkan Imam Bukhari, yang disampaikan oleh Sayyidah Aisyah
Radhiallahu’anha. Yang mana dalam hadits ini Sayyidah Aisyah Radhiallahu’anha memuji sikap
para wanita dari kalangan Anshar. Meskipun mereka seorang wanita, tapi meraka
tidak malu atau minder dalam mencari ilmu. Dan hadits selengkapnya adalah
sebagai berikut:
وَقَالَتْ عَائِشَةُ نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ
الأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهُنَّ فِي الدِّيْنِ
Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Sebaik-baiknya wanita ialah wanita
Anshar, rasa malu mereka tidak mencegah mereka untuk mendalami ilmu”. [1]
B.
Menghilangkan Rasa Takut
Hadits Nabi Muhammad SAW:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، قَالَ: بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ
وَالْمَكْرَهِ، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، وَأَنْ نَقُومَ أَوْ
نَقُولَ بِالحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا، لاَ نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
(رواه البخاري)
Artinya: Ubadah bin Ash Shamit
mengatakan; 'kami berbai'at kepada Rasulullah Saw untuk mendengar dan taat,
baik ketika giat (semangat) maupun malas, dan untuk tidak menggulingkan
kekuasaan dari orang yang berwenang terhadapnya, dan mendirikan serta
mengucapkan kebenaran dimana saja kami berada, kami tidak khawatir dijalan
Allah terhadap celaan orang yang mencela. (HR. al-Bukhari).
Menurut pendapat kami, hadits di
atas terutama kalimat yang digaris bawahi menerangkan bahwasannya dalam
menyampaikan kebenaran atau kebajikan kita dituntut agar tidak takut untuk
menyampaikannya dimanapun dan kapanpun.
C.
Menghilangkan Rasa Hasad
Hadits Nabi Muhammad SAW :
إِيَّاكُمْ
وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ
الْحَطَبَ (رواه ابو داود)
Artinya: Dari
Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda: "Jauhilah hasad (dengki), karena
hasad dapat memakan kabaikan seperti api memakan kayu bakar." (HR. Abu Dawud)
Menurut pendapat kami, makna yang dapat
diambil dari hadits diatas yaitu bahwasannya sifat hasad/dengki mampu menghapus
kebaikan yang sudah dilakukan.
Penjelasan
Hasad bisa dikatakan dengki, dan dengki itu timbul akibat dendam, sedangkan
dendam adalah akibat Marah, sifat tercela tersebut saling berkaitan, hakikat dari
hasad atau dengki itu sendiri ialah bila seseorang tidak menyukai nikamat Alah
atas saudaranya sehingga ingin nikmat itu hilang darinya.
Menurut Imam
Ghazali kedengkian itu ada tiga macam, yaitu:
a. Menginginkan agar kenikmatan orang lain itu
hilang dan ia dapat menggantikannya.
b. Menginginkan agar kenikmatan orang lain itu
hilang, sekalipun ia tidak dapat menggantikannya, baik karena merasa mustahil
bahwa dirinya akan dapat menggantikannya atau memang kurang senang
memperolehinya atau sebab Iain-Iain. Pokoknya asal orang itu jatuh, ia gembira.
Ini adalah lebih jahat dari kedengkian yang pertama.
c. Tidak ingin kalau kenikmatan orang lain itu
hilang, tetapi ia benci kalau orang itu akan melebihi kenikmatan yang
dimilikinya sendiri. Inipun terlarang, sebab jelas tidak ridha dengan apa-apa
yang telah dibagikan oleh Allah.
Ada suatu sifat lain yang bentuknya
seolah-olah seperti dengki, tetapi samasekali bukan termasuk kedengkian, bukan
pula suatu sifat yang buruk dan jahat, sebaliknya malahan merupakan sifat utama
dan terpuji. Sifat itu dinamakan ghibthah.
Ghibthah ialah suatu kesadaran atau suatu
keinsafan yang tumbuh dari akal fikiran manusia yang berjiwa besar dan luhur.
la sadar dan insaf akan kekurangan atau kemunduran yang ada di dalam dirinya,
kemudian setelah menyadari dan menginsafi hal itu, lalu ia bekerja keras,
berusaha mati-matian agar dapat sampai kepada apa-apa yang telah dapat dicapai
kawannya, tanpa disertai kedengkian dan iri hati. Sekalipun ia menginginkan
mendapatkan apa yang telah didapatkan oleh orang lain, namun hatinya tetapi
bersih, sedikitpun tidak mengharapkan agar kenikmatan orang lain lenyap atau
hilang daripadanya. Manusia yang bersifat ghibthah senantiasa menginginkan
petunjuk dan nasihat, bagaimana dan jalan apa yang wajib ditempuhnya untuk
menuju cita –citanya itu.
Dari uraian di atas, kita dapat mengerti
bahwa manakala dengki itu hanya dimiliki oleh manusia yang berjiwa rendah dan
mendorongnya untuk berangan-angan kosong untuk mendapatkan kenikmatan yang
dimiliki orang lain, tetapi ghibthah malahan sebaliknya itu, sebab ghibthah
inilah pendorong utama untuk beramal dan berusaha agar mendapat kebaikan dan
kenikmatan yang diidam-idamkan, samasekali tidak disertai rasa ingin melakukan
sesuatu keburukan apapun pada orang lain, la ingin sama-sama hidup dan
bekerjasama secara sebaik-baiknya. perbedaan antara kedua macam sifat dan
akhlak itu jauh sekali, sejauh antara jarak langit dengan bumi. Dengki adalah
tercela dan pendengki adalah sangat terkutuk, sedangkan ghibthah adalah terpuji
dan pengghibthah adalah sangat terhormat.[2]
Adapun
hadits lain mengatakan :
عن ابن عمر رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله
عليه و سلم قَالَ: لاَ حَسَدَ إِلاَّ فىِ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ
اْلقُرْآنَ فَهُوَ يَقُوْمُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَ آنَاءَ النَّهَارِ وَ رَجُلٌ
آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَ آنَاءَ النَّهَارِ
Artinya: Dari Ibnu Umar radliyallahu
anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hasad
kecuali di dalam dua hal, yaitu seseorang yang dianugrahi alqur’an oleh Allah
lalu ia tegak dengannya di sepanjang malam dan siang dan seseorang yang
dianugrahi harta oleh Allah lalu ia menginfakkannya di sepanjang siang dan
malam”. [HR al-Bukhoriy: 5025, 7529, Muslim: 815, at-Turmudziy: 1936, Ibnu
Majah: 4209 dan Ahmad: II/ 9. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat
Mukhtashor Shahih Muslim: 2108, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1580, Shahih Sunan
Ibni Majah: 3392 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7487 ].
Dalam hadits ini menjelaskan bahwa tidak
semua sifat dengki atau hasad itu tercela, jika ia hanya ingin berada di atas
orang lain dari beberapa karunia atau ingin memiliki karunia sebagaimana orang
lain telah memilikinya. Sebab sifat ini adalah merupakan sebagian dari tabiat
manusia.
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaiminrahimahullah, “Hasad itu ada beberapa tingkatan, [Lihat Syar-h
al-Arba’in an-Nawawiyyah halaman 372]
a. Seseorang berkeinginan untuk berada diatas
selainnya. Sifat ini boleh dan bukan hasad.
b. Ia tidak menyukai nikmat Allah Azza wa
Jalla yang diberikan kepada selainnya. Tetapi ia tidak berusaha untuk
menurunkan martabat orang yang Allah Azza wa Jalla berikan kenikmatan itu
kepadanya namun ia tidak dapat menolak sifat hasad itu. Hal ini tidak
membahayakannya tetapi orang selainnya itu lebih mulia darinya.
c. Sifat dengki itu ada di dalam hatinya dan
ia berusaha untuk menurunkan martabat orang yang didengkikannya itu. Maka ini
adalah hasad yang diharamkan yang manusia akan dihukum karenanya”.
Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa
sifat iri dan dengki yang merupakan salah satu dari tabiat manusia itu tidaklah
tercela seluruhnya, jika diletakkan dalam kebaikan yakni ia ingin mendapatkan
kebahagiaan atau karunia sebagaimana saudaranya telah mendapatkannya. Atau
hanya sekedar ingin mempunyai karunia yang lebih dari orang lain dan
keinginannya tersebut tidak membawa bahaya atau kemudlaratan bagi orang lain.
Sebagaimana dalil berikut ini yang menunjukkan tentang pengecualian dari sifat
hasad,
عن ابن مسعود رضي الله عنه عَنِ النِّبِيِّ صلى الله
عليه و سلم قَالَ: لاَ حَسَدَ إِلاَّ فىِ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً
فَسَلَّطَهُ عَلىَ هَلَكَتِهِ فىِ اْلحَقِّ وَ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً
فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَ يُعَلِّمُهَا
Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu dari
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hasad kecuali di
dalam dua perkara, yakni seseorang yang dianugrahi harta oleh Allah lalu ia
berkuasa untuk menghabiskannya dalam kebenaran dan seseorang yang dianugrahi
hikmah (alqur’an) oleh Allah lalu ia membuat keputusan dengannya dan
mengajarkannya”. [HR al-Bukhoriy: 73, 1409, 7141, 7316, Muslim: 816, Ibnu
Majah: 4208 dan Ahmad: I/ 382. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat
Shahih Sunan Ibni Majah: 3393 dan al-Jami’ ash-Shaghir: 7488].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy
hafizhohullah, “Hasad (dengki) itu adalah penyakit berbahaya yang wajib
menjauhkan diri darinya dan berhati-hati darinya. Dengki terhadap kebahagiaan
itu terpuji jika berada pada jalur kebaikan”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 602].
Maka tidak mengapa seorang muslim merasa
iri dengan harta, ilmu atau kelebihannya yang lain dari saudaranya yang
mempergunakan semuanya itu untuk berjuang meninggikan kalimat Allah Azza wa
Jalla. Ia menginginkan semuanya itu atau bahkan lebih dari itu untuk tujuan
yang sama dengan saudaranya tersebut. Hal ini akan memicu dan mendorongnya
untuk berusaha mendapatkan keinginannya itu dengan cara yang dibenarkan oleh
syariat.
Tetapi jika rasa iri atau dengki kepada
kelebihan saudaranya itu memicu dan mendorong dirinya untuk merusak dan
menghilangkan semua atau sebahagian kelebihannya itu dengan cara-cara yang
dilarang, misalnya berupa menebarkan ghibah, fitnah dan sejenisnya maka
perbuatan ini jelas diharamkan dan termasuk dari dosa-dosa besar. [3]
Komentar
Posting Komentar