menghilangkan rasa malu


PEMBAHASAN
A.    Menghilangkan Rasa Malu
Hadits Nabi Muhammad SAW :
إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا، وَهِيَ مَثَلُ المُسْلِمِ، حَدِّثُونِي مَا هِيَ؟ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ البَادِيَةِ، وَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: فَاسْتَحْيَيْتُ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنَا بِهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هِيَ النَّخْلَةُ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: فَحَدَّثْتُ أَبِي بِمَا وَقَعَ فِي نَفْسِي، فَقَالَ: لَأَنْ تَكُونَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يَكُونَ لِي كَذَا وَكَذَا (رواه البخاري)
Artinya: Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya diantara pohon ada suatu pohon yang tidak jatuh daunnya. Dan itu adalah perumpamaan bagi seorang muslim". Nabi Saw berkata: "Katakanlah kepadaku, pohon apakah itu?" Maka para sahabat beranggapan bahwa yang dimaksud adalah pohon yang berada di lembah. Abdullah berkata: "Aku berpikir dalam hati pohon itu adalah pohon kurma, tapi aku malu mengungkapkannya. Kemudian para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, pohon apakah itu?" Beliau menjawab: "Pohon kurma, lalu aku ceritakan kepada ayaahku apa yang terbetik dalam hatiku. Ayahku berkata seandainya kamu mengatakannya, akan lebih aku sukai dari pada aku mempunyai ini dan itu” (HR. al-Bukhari).

1.   Penjelasan Hadits
Hadits tersebut berasal dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa pada suatu hari Rasulullah Shalallahualaihi Wasallam memberitahukan bahwa ternyata ada suatu pohon yang tidak pernah gugur daunnya, dan Rasulullah mengumpamakan seorang muslim sejati dengan pohon tersebut. Kemudian Rasulullah bertanya kepada para shahabat: “Adakah yang tahu, pohon apakah itu?”. Semuanya terdiam. Dan merekapun berpikir bahwa pohon itu adalah pohon yang terletak di pedalaman desa, yang tidak ada di sekitar mereka.
Namun Ibnu Umar berpikir lain, ia menebak dalam hati bahwa pohon tersebut adalah pohon kurma yang banyak terdapat di sekitar mereka. Lantas Ibnu Umar pun merasa malu (karena dalam suatu riwayat saat itu Ibnu Umar masih sangat muda yaitu umur sebelas tahun). Karena tidak ada yang menjawab kemudian para shahabatpun akhirnya bertanya kepada Rasulullah shalallahualaihiwasallam, apakah gerangan pohon tersebut?. Maka Rasulullah menjawab: ”Pohon itu adalah pohon kurma”.
Dalam kitab Fathul Bari dijelaskan bahwa perumpamaan pohon kurma dengan karakter seorang muslim adalah dilihat dari sisi tidak pernah rontoknya daun pohon kurma. Jika pohon kurma itu tidak pernah rontok daunnya, maka seorang muslim yang sejati adalah seorang muslim yang tidak pernah mudah menyerah dalam berdakwah ataupun berjuang. Dan dari hadits ini pula dapat kita tangkap suatu kejadian, dimana Ibnu Umar yang terbilang masih muda merasa malu dan minder ketika akan menjawab pertanyaan dari Rasulullah tersebut. Yang pada akhirnya ia hanya menyimpan jawabannya dalam hati saja tanpa ada keberanian untuk mengungkapkannya.
Dan pada satu riwayat, Ibnu Umar menceritakan hal itu pada Ayahandanya yaitu Umar bin Khattab. Maka Umar pun berkata: “Andai saja engkau tadi mengungkapkannya, maka itu lebih aku sukai dari pada engkau bercerita kepada diriku begini dan begini…”. Ini menunjukkan bahwa Umar bin Khattab tidak menyukai apa yang telah dilakukan putranya, yang merasa malu dan minder karena merasa masih muda dan berada dihadapan orang yang lebih dewasa. Maka hal ini menunjukkan bahwa perasaan minder dan malu dalam hal positif tidak diperkenankan dalam Islam.
Dan dalam konteks pendidikan psikis, perasaan minder ini jika dibiarkan tanpa adanya usaha dari diri sendiri ataupun bantuan dari orang lain (guru), maka sifat ini akan berdampak buruk bagi psikologis seseorang. Maka kita sebagai calon guru hendaknya sedini mungkin mengenali sifat minder ini, dengan harapan bahwa ketika kita mendapati siswa yang punya perasaan minder, kita mampu membantu mereka untuk mengatasi hal tersebut. Minder sendiri adalah perasaan diri tidak mampu dan menganggap orang lain lebih baik daridirinya. Orang yang merasa minder cenderung bersikap egosentris, memposisikan diri sebagai korban, merasa tidak puas terhadap dirinya, mengasihani diri sendiri dan mudah menyerah. orang yang mempunyai rasa minder akan merasa lemah, kekurangan, rasa bersalah yang berlebihan, takut pada orang lain, menarik diri dari lingkungan /pergaulan, cemas menghadapi sesuatu yang baru, tidak berani menghadapi kenyataan, sukar mengambil keputusan, takut akan kegagalan.
Sering kali kita lebih menghargai orang lain daripada diri sendiri. Sikap ini membuat kita menjadi "minder" dan bahkan mungkin enggan berinteraksi dengan orang lain. Tentu saja sikap "minder" akan merugikan diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Sebab kita tidak bisa membuat diri kita berharga bagi orang lain dan mendedikasikan talenta ataupun keterampilan kita bagi orang-orang di sekitar kita. Untuk mengatasi sikap minder tersebut ada satu syarat, yakni menghargai diri sendiri.

Minder adalah tipikal orang yang bermental lemah. Mental yang lemah akan merasa selalu tidak aman. Selalu gelisah dan kuatir. Karena kerja otak sudah dipenuhi dengan rasa kuatir, takut dan gelisah tanpa sebab atau disebabkan oleh hal-hal kecil, maka kerja otakpun menjadi lemah dan tidak dapat berfungsi untuk memikirkan hal-hal besar yang bermanfaat buat diri sendiri dan orang lain.
Ciri-ciri orang yang merasa minder ialah:
a.   Suka menyendiri.
b.    Terlalu berhati-hati ketika berhadapan dengan orang lain sehingga
pergerakannya kelihatan kaku.
c.    Pergerakannya agak terbatas, seolah-olah sadar bahwa dirinya memang
mempunyai banyak kekurangan.
d.    Merasa curiga terhadap orang lain
e.    Tidak percaya bahawa dirinya memiliki kelebihan
f.     Sering menolak apabila diajak ke tempat-tempat yang ramai
g.    Beranggapan bahwa orang lainlah yang harus berubah
h.    Menolak tanggung jawab hidup untuk mengubah diri menjadi lebih baik.
Oleh karena itu, minder harus sebisa mungkin dihindari dan dicari jalan keluarnya dalam rangka mengubah pribadi kita menuju kepribadian yg
self-esteem (baca: self estiim). Suatu tipe kepribadian yang dimiliki orang
yang bisa menggapai mimpi atau suksesnya
.
Penyebab perasaan minder menurut Erwin Arianto adalah:
a.    Saat lahir - setiap orang lahir dengan perasaan rendah diri karena pada
waktu itu ia tergantung pada orang lain yang berada di sekitarnya.
b.    Sikap orangtua - memberikan pendapat dan evaluasi negatif terhadap
perilaku dan kelemahan anak di bawah enam tahun akan menentukan sikap anak tersebut.
c.    Kekurangan fisik - seperti kepincangan, bagian wajah yang tidak
proporsional, ketidakmampuan dalam bicara atau penglihatan mengakibatkan reaksi emosional dan berhubungan dengan pengalaman tidak menyenangkan sebelumnya.
d.    Keterbatasan mental - membawa rasa rendah diri saat dilakukan perbandingan dengan prestasi tinggi dari orang lain.
e.    Kekurangan secara sosial - keluarga, ras, jenis kelamin, atau status
sosial.

Dan masih menurut Erwin Arianto, untuk mengatasi rasa minder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a.     Hadapi rasa takut, jangan dihindari, karena ini tidak akan berakibat seburuk yang kita kira. Melawan rasa takut akan menambah percaya diri kita. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
لا يَحِلُ لِمُسْلِمٍ اَنْ يَرُوْعَ مُسْلِمًا (رواه ابو داود)
“ tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain ”
b.    Hargai diri sendiri sebagai Ciptaan Tuhan, bila kita telah berhasil dalam berbuat sesuatu. Menghargai diri sebagai ciptaan Tuhan membuat kita tetap rendah hati walaupun telah diberi kesempatan menikmati banyak kesuksesan. Menghargai diri sebagai ciptaan Tuhan juga dapat membuat kita lebih tegar dalam menyikapi kelemahan kita.
c.    Kenali diri. Mengenali diri merupakan bagian tersulit dalam proses menghargai diri. Mengenali diri merupakan sebuah proses yang menuntut kejujuran kita dalam melihat dan mengevaluasi diri.
d.    Atasi kelemahan kita. Hal yang satu ini sering kali sulit kita lakukan. Kita seringkali tidak mau mengakui kelemahan kita. Kita sering kali mengandalkan penilaian orang lain semata terhadap kelemahan kita sendiri tanpa melibatkan orang lain, atau cara pandang yang salah terhadap kesuksesan dan strategi untuk meraih sukses.
e.    Lupakan kegagalan masa lalu. Biasanya kegagalan juga dapat membuat kita merasa minder /rendah diri, tapi yang harus kita lakukan dari kegagalan belajarlah dari kesalahan itu, tetapi janganlah mengira sesuatu itu salah sebelum ia akan terjadi lagi.
Dan dalam hal ini Ahmad Tafsir menganjurkan bahwa hendaknya dalam mengatasi anak yang punya rasa minder, orang tua atau guru mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1.    Melatih anak itu dengan memberikan tanggung jawab dan memujinya secara wajar.
2.    Bantulah mereka agar dapat melakukan sesuatu dengan baik dan bila berhasil berilah penghargaan yang wajar dan tidak pilih kasih dalam memberikan sesuatu, sehingga terwujud keadilan di tengah anak-anak. Sebagaimana hadits Nabi SAW:
سَاوَوْا بَيْنَ اَوْلادِكُمْ فِى الْعَطِيَّةِ ) رواه ابو داو(
     “Berlaku adillah terhadap anak-anak kalian dalam suatu pemberian”
3.    Ajarkan kepada mereka bahwa nilai manusia sebenarnya ada pada Allah, Allah tidak memandang cacat jasmani tidak mengukur manusia dengan melihat hartanya, tapi Allah melihat sejauhmana ketaqwaan mereka. Maka menjadi tugas kita untuk menyayangi dan memotivasi saudara kita yang kurang dalam segi fisik ataupun saudara kita yang dalam keadaan yatim. Sebagimana sabda Rasulullah SAW:
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُُمُ الرَّحْمنُ اِرْحَمُوْا مَنْ فِى اْلاَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ (رواه ابو داود)
“…….kasihilah mahluk di bumi, niscaya mahluk di langit akan mengasihi kalian”
2.    Nilai Tarbawi
Dari pembahasan hadits di atas dapat kita temukan beberapa nilai tarbawi, diantaranya adalah:
a.    Sebagai seorang muslim kita dianjurkan untuk mempunyai karakter pantang menyerah dan tidak merasa rendah diri (minder).
b.    Sebagai calon guru kita harus mengetahui bagaimana ciri-ciri siswa yang punya rasa minder, serta bagaimana mengatasi siswa yang demikian.
c.    Sebagai (calon) guru, kita juga harus memperhatikan kondisi psikis seorang siswa. Apakah ia termasuk anak yang minder atau tidak?. Dan dengan hal tersebut diharapkan guru bisa membantu perkembangan psikis siswa, karena kondisi psikis sedikit banyak akan mempengaruhi proses belajar mereka.
d.    Minder adalah sikap yang manusiawi, tetapi menjadi tidak manusiawi lagi ketika kita tidak berusaha untuk menghilangkan sikap dan perasaan minder tersebut.
3.    Hadits Pendukung
Untuk hadits pendukung ini akan kami cantumkan sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, yang disampaikan oleh Sayyidah Aisyah Radhiallahu’anha. Yang mana dalam hadits ini Sayyidah Aisyah Radhiallahu’anha memuji sikap para wanita dari kalangan Anshar. Meskipun mereka seorang wanita, tapi meraka tidak malu atau minder dalam mencari ilmu. Dan hadits selengkapnya adalah sebagai berikut:
وَقَالَتْ عَائِشَةُ نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهُنَّ فِي الدِّيْنِ
Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Sebaik-baiknya wanita ialah wanita Anshar, rasa malu mereka tidak mencegah mereka untuk mendalami ilmu”. [1]

B.    Menghilangkan Rasa Takut
Hadits Nabi Muhammad SAW:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، قَالَ: بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا، لاَ نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ (رواه البخاري)
Artinya: Ubadah bin Ash Shamit mengatakan; 'kami berbai'at kepada Rasulullah Saw untuk mendengar dan taat, baik ketika giat (semangat) maupun malas, dan untuk tidak menggulingkan kekuasaan dari orang yang berwenang terhadapnya, dan mendirikan serta mengucapkan kebenaran dimana saja kami berada, kami tidak khawatir dijalan Allah terhadap celaan orang yang mencela. (HR. al-Bukhari).
Menurut pendapat kami, hadits di atas terutama kalimat yang digaris bawahi menerangkan bahwasannya dalam menyampaikan kebenaran atau kebajikan kita dituntut agar tidak takut untuk menyampaikannya dimanapun dan kapanpun.

C.    Menghilangkan Rasa Hasad
Hadits Nabi Muhammad SAW :
إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ (رواه ابو داود)
Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda: "Jauhilah hasad (dengki), karena hasad dapat memakan kabaikan seperti api memakan kayu bakar." (HR. Abu Dawud)
Menurut pendapat kami, makna yang dapat diambil dari hadits diatas yaitu bahwasannya sifat hasad/dengki mampu menghapus kebaikan yang sudah dilakukan.
Penjelasan
            Hasad bisa dikatakan dengki, dan dengki itu timbul akibat dendam, sedangkan dendam adalah akibat Marah, sifat tercela tersebut saling berkaitan, hakikat dari hasad atau dengki itu sendiri ialah bila seseorang tidak menyukai nikamat Alah atas saudaranya sehingga ingin nikmat itu hilang darinya.
Menurut Imam Ghazali kedengkian itu ada tiga macam, yaitu:
a.       Menginginkan agar kenikmatan orang lain itu hilang dan ia dapat menggantikannya.
b.      Menginginkan agar kenikmatan orang lain itu hilang, sekalipun ia tidak dapat menggantikannya, baik karena merasa mustahil bahwa dirinya akan dapat menggantikannya atau memang kurang senang memperolehinya atau sebab Iain-Iain. Pokoknya asal orang itu jatuh, ia gembira. Ini adalah lebih jahat dari kedengkian yang pertama.
c.       Tidak ingin kalau kenikmatan orang lain itu hilang, tetapi ia benci kalau orang itu akan melebihi kenikmatan yang dimilikinya sendiri. Inipun terlarang, sebab jelas tidak ridha dengan apa-apa yang telah dibagikan oleh Allah.
Ada suatu sifat lain yang bentuknya seolah-olah seperti dengki, tetapi samasekali bukan termasuk kedengkian, bukan pula suatu sifat yang buruk dan jahat, sebaliknya malahan merupakan sifat utama dan terpuji. Sifat itu dinamakan ghibthah.
Ghibthah ialah suatu kesadaran atau suatu keinsafan yang tumbuh dari akal fikiran manusia yang berjiwa besar dan luhur. la sadar dan insaf akan kekurangan atau kemunduran yang ada di dalam dirinya, kemudian setelah menyadari dan menginsafi hal itu, lalu ia bekerja keras, berusaha mati-matian agar dapat sampai kepada apa-apa yang telah dapat dicapai kawannya, tanpa disertai kedengkian dan iri hati. Sekalipun ia menginginkan mendapatkan apa yang telah didapatkan oleh orang lain, namun hatinya tetapi bersih, sedikitpun tidak mengharapkan agar kenikmatan orang lain lenyap atau hilang daripadanya. Manusia yang bersifat ghibthah senantiasa menginginkan petunjuk dan nasihat, bagaimana dan jalan apa yang wajib ditempuhnya untuk menuju cita –citanya itu.
Dari uraian di atas, kita dapat mengerti bahwa manakala dengki itu hanya dimiliki oleh manusia yang berjiwa rendah dan mendorongnya untuk berangan-angan kosong untuk mendapatkan kenikmatan yang dimiliki orang lain, tetapi ghibthah malahan sebaliknya itu, sebab ghibthah inilah pendorong utama untuk beramal dan berusaha agar mendapat kebaikan dan kenikmatan yang diidam-idamkan, samasekali tidak disertai rasa ingin melakukan sesuatu keburukan apapun pada orang lain, la ingin sama-sama hidup dan bekerjasama secara sebaik-baiknya. perbedaan antara kedua macam sifat dan akhlak itu jauh sekali, sejauh antara jarak langit dengan bumi. Dengki adalah tercela dan pendengki adalah sangat terkutuk, sedangkan ghibthah adalah terpuji dan pengghibthah adalah sangat terhormat.[2]
Adapun hadits lain mengatakan :
عن ابن عمر رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ حَسَدَ إِلاَّ فىِ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ اْلقُرْآنَ فَهُوَ يَقُوْمُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَ آنَاءَ النَّهَارِ وَ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَ آنَاءَ النَّهَارِ
Artinya: Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hasad kecuali di dalam dua hal, yaitu seseorang yang dianugrahi alqur’an oleh Allah lalu ia tegak dengannya di sepanjang malam dan siang dan seseorang yang dianugrahi harta oleh Allah lalu ia menginfakkannya di sepanjang siang dan malam”. [HR al-Bukhoriy: 5025, 7529, Muslim: 815, at-Turmudziy: 1936, Ibnu Majah: 4209 dan Ahmad: II/ 9. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 2108, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1580, Shahih Sunan Ibni Majah: 3392 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7487 ].
Dalam hadits ini menjelaskan bahwa tidak semua sifat dengki atau hasad itu tercela, jika ia hanya ingin berada di atas orang lain dari beberapa karunia atau ingin memiliki karunia sebagaimana orang lain telah memilikinya. Sebab sifat ini adalah merupakan sebagian dari tabiat manusia.
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaiminrahimahullah, “Hasad itu ada beberapa tingkatan, [Lihat Syar-h al-Arba’in an-Nawawiyyah halaman 372]
a.       Seseorang berkeinginan untuk berada diatas selainnya. Sifat ini boleh dan bukan hasad.
b.      Ia tidak menyukai nikmat Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada selainnya. Tetapi ia tidak berusaha untuk menurunkan martabat orang yang Allah Azza wa Jalla berikan kenikmatan itu kepadanya namun ia tidak dapat menolak sifat hasad itu. Hal ini tidak membahayakannya tetapi orang selainnya itu lebih mulia darinya.
c.       Sifat dengki itu ada di dalam hatinya dan ia berusaha untuk menurunkan martabat orang yang didengkikannya itu. Maka ini adalah hasad yang diharamkan yang manusia akan dihukum karenanya”.
Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa sifat iri dan dengki yang merupakan salah satu dari tabiat manusia itu tidaklah tercela seluruhnya, jika diletakkan dalam kebaikan yakni ia ingin mendapatkan kebahagiaan atau karunia sebagaimana saudaranya telah mendapatkannya. Atau hanya sekedar ingin mempunyai karunia yang lebih dari orang lain dan keinginannya tersebut tidak membawa bahaya atau kemudlaratan bagi orang lain. Sebagaimana dalil berikut ini yang menunjukkan tentang pengecualian dari sifat hasad,
عن ابن مسعود رضي الله عنه عَنِ النِّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ حَسَدَ إِلاَّ فىِ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلىَ هَلَكَتِهِ فىِ اْلحَقِّ وَ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَ يُعَلِّمُهَا
Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hasad kecuali di dalam dua perkara, yakni seseorang yang dianugrahi harta oleh Allah lalu ia berkuasa untuk menghabiskannya dalam kebenaran dan seseorang yang dianugrahi hikmah (alqur’an) oleh Allah lalu ia membuat keputusan dengannya dan mengajarkannya”. [HR al-Bukhoriy: 73, 1409, 7141, 7316, Muslim: 816, Ibnu Majah: 4208 dan Ahmad: I/ 382. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Ibni Majah: 3393 dan al-Jami’ ash-Shaghir: 7488].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Hasad (dengki) itu adalah penyakit berbahaya yang wajib menjauhkan diri darinya dan berhati-hati darinya. Dengki terhadap kebahagiaan itu terpuji jika berada pada jalur kebaikan”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 602].
Maka tidak mengapa seorang muslim merasa iri dengan harta, ilmu atau kelebihannya yang lain dari saudaranya yang mempergunakan semuanya itu untuk berjuang meninggikan kalimat Allah Azza wa Jalla. Ia menginginkan semuanya itu atau bahkan lebih dari itu untuk tujuan yang sama dengan saudaranya tersebut. Hal ini akan memicu dan mendorongnya untuk berusaha mendapatkan keinginannya itu dengan cara yang dibenarkan oleh syariat.
Tetapi jika rasa iri atau dengki kepada kelebihan saudaranya itu memicu dan mendorong dirinya untuk merusak dan menghilangkan semua atau sebahagian kelebihannya itu dengan cara-cara yang dilarang, misalnya berupa menebarkan ghibah, fitnah dan sejenisnya maka perbuatan ini jelas diharamkan dan termasuk dari dosa-dosa besar. [3]



[2] http://robbinadani.blogspot.co.id/2015/05/makalah-hadits-hasad-dan-menahan-marah.html
[3] http://raihanatunnisa.blogspot.co.id/2016/06/hadits-tarbawi.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah akhlaq mahmudah dan mazmumah

makalah dalil yang disepakati