makalah jual beli
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang mana atas rahmat dan
karunia_Nya sehingga selesailah makalah ini. Di dalam makalah ini penulis
membahas tentang “Jual Beli, Pinjam Meminjam dan Sewa Menyewa”
Tak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
pengampu bpk. Muhammad Syauqi MA. Pd. Adapun makalah ini kami buat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Fiqih II.
Makalah ini sudah tentu jauh dari sempurna. Kritik dan saran sangat kami harapkan
untuk perbaikan makalah ini. Tidak luput kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya makalah ini.
Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua..
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial,
yakni tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain dalam
memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Terutama dalam hal muamalah, seperti jual
beli, pinjam meminjam, sewa menyewa hingga urusan utang piutang maupun usaha-
usaha yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan
umum.Namun sering kali dalam kehidupan sehari-hari banyak kita temui
kecurangan-kecurangan dalam urusan muamalah ini, seperti riba yang sangat
meresahkan dan merugikan masyarakat.Untuk menjawab segala problema tersebut,
agama memberikan peraturan dan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kita yang
telah diatur sedemikian rupa dan termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits, dan
tentunya untuk kita pelajari dengan sebaik-baiknya pula agar hubungan antar
manusia berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh karena itu, dalam makalah ini,
sengaja kami bahas mengenai jual beli, pinjam meminjam dan sewa menyewa karena
ketiganya sangat kental dengan kehidupan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian jual beli,pinjam meminjam
dan sewa menyewa menurut islam
b. Apa hukum dari jual beli,pinjam meminjam dan
sewa menyewa
c. Apa saja syarat-syarat dan rukun dalam jaual
beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
d. Apa hikmah yang dapat kita ambil dari jual
beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari jual
beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
2. Untuk mengetahui hukum dari jual beli,pinjam
meminjam,dan sewa menyewa
3. Untuk menjelaskan syarat dan rukun dalam
jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
4. Untuk mengambil hikmah dari jual beli,pinjam
meminjam dan sewa menyewa
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Jual beli
A. Pengertian
jual-beli
·
Menurut etimologi, jual-beli diartikan مُقَابَلَةُ شَيْءٍ بِشَيْء (Pertukaran sesuatu dengan
sesuatu (yang lain)).
Kata lain dari al-bai’i adalah asy-syiro,
al-mubada, dan at-tijaroh. Berkenaan dengan kata at-tijaroh,dalam
al-quran surat fathir ayat 29 dinyatakan:
يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
Artinya: “Mereka mengharapkan tijarah
(perdagangan) yang tidak akan rugi”.
·
Adapun jual-beli menurut terminologi, para ulama berpendapat dalam
mendefinisikannya antara lain:
a.
Menurut ulama Hanafiyah : “Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan
cara khusus (yang dibolehkan)”. (Alauddin al-Kasani, Bada’i ash-Shana’I fi
Tartib asy-Syara’i, juz 5, hal. 133)
b.
Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : “Pertukaran harta dengan harta untuk
kepemilikan”. (Muhammad asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, juz 2, hal. 2)
c.
Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni : “ Pertukaran harta dengan harta
untuk saling menjadikan milik”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 3, hal. 559)
d.
Tukar menukar harta meskipun ada dalam tanggungan atau kemanfaatan yang mubah
dengan sesuatu yang semisal dengan keduanya, untuk memberikan secara tetap
(Raudh al-Nadii Syarah Kafi al-Muhtadi, 203).
e.
Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan
hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling ridha. (Idris
Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah)
B. Rukun
Jual beli
1.Penjual dan
pembeli
Syaratnya
adalah:
a.
Berakal,agar
dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
b.
Dengan kehendak
sendiri (bukan dipaksa). Keterangannya yaitu ayat diatas (suka sama suka)
c.
Tidak mubadzir
(pemboros),sebab harta orang yang mubadzir itu di tangan walinya.
Firman Allah SWT :
(ANNISA:5)
d.
Baligh (berumur
15 tahun ke atas atau dewasa).
2. Uang dan
benda yang di beli
Syaratnya
adalah:
a.
Suci
b.
Ada manfaatnya
c.
Barang itu
dapat di serahkan.
d.
Barang tersebut
merupakan kepunyaan si penjual,kepunyaan yang diwakilinya , atau yang
mengusahakan (riwayat abu daud dan tirmidzi)
e.
Barang tersebut
diketahui oleh si penjual dan si pembeli;dzat ,bentuk,kadar(ukuran),dan
sifat-sifatnya.
3. Lafadz Ijab
dan Qobul
Ijab adalah
perkataan penjual,umpamanya,”Saya jual barang ini sekian.”.Qobul adalah ucapan
si pembeli ,”Saya terima (Saya beli)dengan harga sekian.”(riwayat ibnu Hibban)
Menurut ulama
yng mewajibkan lafadz, lafadz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat:
a.
Keadaan ijab
dan qabul berhubungan. Artinya, salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban
dari yang lain dan belum berselang lama.
b.
Makna kedunya
hendaklah mufakat (sama) walaupun lafadz keduanya berlainan.
c.
Keduanya tidak
disangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya,”kalau saya jadi pergi,
saya jual barang ini sekian”.
a.
Terlarang karena kurang syarat atau rukun
- Jual beli system ijon (belum jelas barangnya)
Jual beli ini dilarang karena barang yang
akan dibeli masih samar.
عن بيع الثما رحتى يبد وصلا حيامتفق عليهعن
ابن مر نهى النبى ص م
“dari Ibnu Umar ra. Nabi saw melarang jual
beli buah-buahansehingga nyata baiknya buah itu”.(Muttafaq ‘alaih)
- Jual beli anak binatang ternak yang masih di
dalam kandungan
Jual beli ini dilarang karena barangnya
belum ada dan tidak tampak juga.
- Jual beli sperma hewan
Jual beli sperma hewan, seperti mengawinkan
seekor domba jantan dengan betina, agar dapat memperoleh turunan.
رواه مسلمعن بيع فضل الماءنهى رسول الله ص
معن جابربن عبدالله قا ل
“Rasulullah saw telah melarang jual beli
air jantan binatang.”(HR. Muslim).
- Jual beli barang yang belum dimiliki
رواه احموالبيهقىم:قال رسول الله ص د لا
تبيعن شيأ استريته حتى تقبضه
Artinya: “Nabi saw telah bersabda janganlah
engkau menjual sesuatu yang baru saja engkau beli sehingga engkau menerima
(memegangbarang itu)”. (HR. Ahmad Baihaqi).
b. Jual beli yang sah tetapi terlarang
- Jual beli pada
waktu khutbah/sholat Jum’at bagi laki-laki.
- Jual beli
dengan niat untuk ditimbun saat masyarakat membutuhkan
قال رسول الله ص م لا يختكر الا خا طىءمسلم
“Rasulullah saw
telah bersabda tidaklah seseorang menimbun barang kecuali orang yang durhaka”.
(HR.
Muslim).
-
Jual beli yang tidak mengetahui harga
pasar
-
Jual beli yang masih dalam tawaran
orang lain
Allah mensyari’atkan jual beli sebagai
penberian keluangan dan keleluasaan dari-NYA untuk hamba-hamba-NYA, yang
membawa hikmah bagi manusia diantaranya:
Jual beli dapat menata struktur kehidupan
ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
Penjual dan pembeli dapat memenuhi
kebutuhannya atas dasar kerelaan.
Dapat menjauhkan diri dari memakan atau
memiliki barang yang haram atau secara bathil.
Penjual dan pembeli sama-sama mendapat
rizki Allah
Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan
2.
Pinjam-meminjam ( ‘ariyah)
Pinjam meminjam dalam bahasa Arab disebut “Ariyah”. Kata “Ariyah”
menurut bahasa artinya pinjaman. Pinjam-meminjam menurut istilah ‘Syara”
ialah akad berupa pemberian mamfaat suatu benda halal dari seseorang kepada
orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak benda itu dan
dikembalikan setelah diambil memfaatnya.
Allah swt. Berfirman:
Artinya; “Dan tolong-memolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong memolong dalam berbuat
dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat
siksa-nya.” (Al-Ma’idah: 2).
Rasullullah saw. Bersabda:
Artinya; “Dan Allah menolong hamba-n-Nya
selama hamba itu mau menolong saudaranya.”
Dalam hadis lain Rarulullah saw. Bersabda:
Artinya;“Dari Abu Umamah ra. Dari Nabi saw.
bersabda, “Pinjaman itu harus dikembalikan dan orang yang meminjam dialah yang
berutang, dan utang itu wajib dibayar.” (HR. At-Turmudzi).
Pembicaraan mengenai ‘ariyah (pinjaman)
mencakup rukun rukun dan hukum-hukum pinjaman. Rukun-rukun pinjaman ada Iima:
peminjaman (al-‘ariyah), orang yang meminjamkan (al-mu’ir), peminjam
(al-musta’ir), barang yang dipinjamkan (al-mu’ar) dan sirighat
(ungkapan pemberian pinjaman).
A. Hukum
Memberikan Pinjaman
Memberikan
pinjaman adalah perbuatan yang baik dan dianjurkan. Bahkan sebagian ulama salaf
sangat menekankan hal mi, berdasarkan firman Allah
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“Dan mereka enggan menolong dengan (meminjamkan) perabot
rumah tangga (atau barang yang berguna).” (QS. al-Ma’un: 7)
rumah tangga (atau barang yang berguna).” (QS. al-Ma’un: 7)
Diriwayatkan dan Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin
Mas’ud r.a. bahwa menurut keduanya yang dimaksud dengan al-ma’un adalah
perabot rumah tangga yang lazim dipinjamkan di antara manusia, seperti pacul,
timba, tali, kuali, dan sebagainya.
B. Orang
yang Meminjamkan dan Macam Barang yang Dipinjamkan
Orang yang meminjamkan tidak dianggap sah kecuali jika
barang yang dipinjamkan itu henar-benar menjadi miliknya, baik terhadap pokok
barang itu sendiri maupun manfaatnya. Pendat yang Iebih kuat adalah bahwa
pinjaman itu tidak sah diberi oleh orang yang meminjamnya, yakni bahwa ia tidak
boleh meminjamkan barang pinjaman tersebut.
C. Shighat
Pemberian Pinjaman
Adalah ungkapan pemberian pinjaman ialah setiap kata
yang menunjukkan pemberian izin.
Menarik
Kembali Barang Pinjaman
Pemberi
pinjaman boleh menarik kembali barang pinjamannya itu. Demikian menurut Syafi’i
dan Abu Hanifah. Yakni orang yang meminjamkan itu boleh mencabut kembali
barang yang dipinjamkan, apabila ia menghendakinya.
Sedang
menurut Malik yang terkenal, ia tidak boleh mencabut kembali sebelum diambil
manfaatnya oleh peminjam. Apabila ia mensyaratkan suatu masa tertentu, maka
masa tersebut harus dipenuhi. Sedang apabila ia tidak mensyaratkan suatu masa
tertentu, maka ia harus memenuhi suatu masa yang oleh orang banyak dianggap
pantas untuk pinjaman tersebut. Silang pendapat dalam hal ini berpangkal
pada adanya kemiripan antara akad yang mengikat dan akad yang tidak pada
pinjaman.
D . Hukum
Pinjam-Meminjam
Hukum meminjamkan adalah sesuatu
yang sunah, seperti tolong menolong dengan yang lain. Kadang-kadang menjadi
wajib, seperti meminjamkan kain kepada orang yang terpaksa dan meminjamkan
pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Juga kadang-kadang haram, kalau
yang dipinjamkan itu akan dipergunakan untuk sesuatu yang haram. Kaidah :
“jalan menuju sesuatu hukumnya sama dengan yang dituju”.
1. Ada yang meminjamkan (mu’ir), syaratnya yaitu:
·
Seorang ahli (berhak) berbuat kebaikan kehendaknya. Anak kecil dan orang
yang dipaksa tidak sah meminjamkan.
·
Manfaat barang yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjam, dan barang
(zat) dimiliki oleh yang meminjamkan (mu’ir).
2.
Ada ynag meminjam (musta’ir), yaitu hendaklah orang yang ahli (berhak)
menerima kebaikan. Anak kecil dan orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena
ia tidak ahli (berhak) menerima pinjaman.
3.
Ada barang yang dipinjam, syaratnya yaitu:
·
Barang yang benar-benar ada manfaatnya.
·
Sewaktu diambil
manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak)
4.
Ada lafadz, tetapi
menurut sebagian orang sah denga tidak berlafadz.
3. Pengertian Ijarah Dan Dasar Hukumnya
1. Pengertian
Sewa-Menyewa (Ijarah)
Sewa menyewa atau dalam bahasa Arab berasal
dari kata: ,أجرyang
sinonimnya:
·
أكريYang
artinya: menyewakan, seperti dalam kalimat: أجر الشئ (menyewakan sesuatu)
·
أعطاه أجرا
yang artinya: ia memberinya upah, seperti dalam kalimat: أجر فلانا على كذا (ia memberikan kepada si fulan upah
sekian).
·
أثابه
yang artinya: memberinya pahala, seperti dalam kalimat: أجر الله عبده (allah memberikan pahala kepada
hamba-Nya).
Al Fikri
mengartikan ijarah menurut bahasa dengan: الكراة أو بيع المنفعة yang artinya: sewa-menyewa
atau jual beli manfaat. Sedangkan Sayid Sabiq mengemukakan:
الإجارة مشتقة من الأجر وهو العوض, ومنه سمي الثواب أجرا
Ijarah diambil dari kata “Al-Ajr” yang artinya ‘iwadh (imbalan), dari pengertian ini pahala (tsawab) dinamakan ajr (upah/pahala).
الإجارة مشتقة من الأجر وهو العوض, ومنه سمي الثواب أجرا
Ijarah diambil dari kata “Al-Ajr” yang artinya ‘iwadh (imbalan), dari pengertian ini pahala (tsawab) dinamakan ajr (upah/pahala).
Dalam
pengertian istlilah, terhadap perbedaan pendapat dikalangan ulama.
1.)
Menurut Hanafiah
الإجارةعقد على المنفعة بعوض هومال
Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta.
2.) Menurut malikiyah
الإجارة .... عةد يفيد تمليكا منافع شئ مباح مدمة معلومة بعوض غير ناشئ عن المنفعة
Ijarah..... adalah akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.
3.) Menurut syafi’iyah
وحد عقد الإجارة عقد على منعة مقصودة معلومة قابلة للبذل ولإباحة بعوض معلوم
Definisi akad Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.
4.) Menurut Hanbaliyah
وهي عقد على المنافع تنعد بلفظ الإجارة والكرأ وما في معناهما
Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan semacamnya.
Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedan yang prinsip di antara para ulama dalam mengartikan Ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, obyek sewa-menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang).
الإجارةعقد على المنفعة بعوض هومال
Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta.
2.) Menurut malikiyah
الإجارة .... عةد يفيد تمليكا منافع شئ مباح مدمة معلومة بعوض غير ناشئ عن المنفعة
Ijarah..... adalah akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.
3.) Menurut syafi’iyah
وحد عقد الإجارة عقد على منعة مقصودة معلومة قابلة للبذل ولإباحة بعوض معلوم
Definisi akad Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.
4.) Menurut Hanbaliyah
وهي عقد على المنافع تنعد بلفظ الإجارة والكرأ وما في معناهما
Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan semacamnya.
Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedan yang prinsip di antara para ulama dalam mengartikan Ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, obyek sewa-menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang).
2. Dasar Hukum Ijarah
Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang diperbolehkan oleh
syara’, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin
‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak
memperbolehkan Ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan
manfaat pada saat dilakukan akad, tidak bisa diserahterimakan. Setelah beberapa
waktu barulah manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikit. Sedangkan
sesuatu yang tidak ada pada waktu pada waktu akad tidak boleh diperjual
belikan. Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh ibn Rush, bahwa
manfaat walaupun pada waktu akad belum ada, tetapi pada galibnya ia (manfaat)
akan terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta pertimbangan syara’.
Alasan Jumhur Ulama tentang dibolehkannya ijarah adalah,
a. QS. Ath-thalaq (65) ayat 6:
أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ عَلَيۡهِنَّۚ وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فََٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم بِمَعۡرُوفٖۖ وَإِن تَعَاسَرۡتُمۡ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ أُخۡرَىٰ ٦
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
b. QS. Al-Qashash (28) ayat 26 dan 27:
قَالَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسۡتَٔۡجِرۡهُۖ إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ ٢٦ قَالَ إِنِّيٓ أُرِيدُ أَنۡ أُنكِحَكَ إِحۡدَى ٱبۡنَتَيَّ هَٰتَيۡنِ عَلَىٰٓ أَن تَأۡجُرَنِي ثَمَٰنِيَ حِجَجٖۖ فَإِنۡ أَتۡمَمۡتَ عَشۡرٗا فَمِنۡ عِندِكَۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنۡ أَشُقَّ عَلَيۡكَۚ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ٢٧
Aritnya : (26). Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (27). Berkatalah dia (Syu´aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik"
c. Hadis Aisyah
عن عروة بن الزبير أن عائسة رضي الله عنها زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت : واستأجر رسول الله صلى الله علىه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديل هاديا خريتا وهو على دين كفار قريش فدفعا إليه راحلتيهما ووعداه غار ثوربعد ثلاث ليل براحلتيهما صبح ثلث.
Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra.istri nabi SAW berkata : Rasulallah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari suku bani Ad Dayl, penunjuk jalan yang mahir, dan ia masih memeluk agama orang kafir quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua Syur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada pagi hari selasa. (H.R Bukhori)
Alasan Jumhur Ulama tentang dibolehkannya ijarah adalah,
a. QS. Ath-thalaq (65) ayat 6:
أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ عَلَيۡهِنَّۚ وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فََٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم بِمَعۡرُوفٖۖ وَإِن تَعَاسَرۡتُمۡ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ أُخۡرَىٰ ٦
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
b. QS. Al-Qashash (28) ayat 26 dan 27:
قَالَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسۡتَٔۡجِرۡهُۖ إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ ٢٦ قَالَ إِنِّيٓ أُرِيدُ أَنۡ أُنكِحَكَ إِحۡدَى ٱبۡنَتَيَّ هَٰتَيۡنِ عَلَىٰٓ أَن تَأۡجُرَنِي ثَمَٰنِيَ حِجَجٖۖ فَإِنۡ أَتۡمَمۡتَ عَشۡرٗا فَمِنۡ عِندِكَۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنۡ أَشُقَّ عَلَيۡكَۚ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ٢٧
Aritnya : (26). Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (27). Berkatalah dia (Syu´aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik"
c. Hadis Aisyah
عن عروة بن الزبير أن عائسة رضي الله عنها زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت : واستأجر رسول الله صلى الله علىه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديل هاديا خريتا وهو على دين كفار قريش فدفعا إليه راحلتيهما ووعداه غار ثوربعد ثلاث ليل براحلتيهما صبح ثلث.
Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra.istri nabi SAW berkata : Rasulallah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari suku bani Ad Dayl, penunjuk jalan yang mahir, dan ia masih memeluk agama orang kafir quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua Syur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada pagi hari selasa. (H.R Bukhori)
C. Syarat Dan Rukun
Ijarah
1. Rukun Ijarah
Menurut Ulama Hanafiyah, rukun ijarah
adalah ijab dan Qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat :
al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’ dan al-ikra’.
Adapun menurut Jumhur Ulama , rukun ijarah ada 4 yaitu:
1. ‘Aqid ( orang yang akad).
2. Shigat akad.
3. Ujrah (upah).
4. Manfaat
2. Syarat Ijarah
Adapun menurut Jumhur Ulama , rukun ijarah ada 4 yaitu:
1. ‘Aqid ( orang yang akad).
2. Shigat akad.
3. Ujrah (upah).
4. Manfaat
2. Syarat Ijarah
Syarat ijarah terdiri dari empat macam,
sebagaimana syarat dalam jual beli, yaitu syarat Al-inqad ( terjadinya akad),
syarat an-nafadz ( syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.
a) Syarat Terjadinya Akad
Syarat Al-inqad ( terjadinya akad) berkaitan dengan akid, zat akad dan tempat akad. Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual beli, menurut Ulama Hanafiyah, ‘Aqid ( orang yang melakukn akad disyaratkan harus berakal dan mumayyiz ( minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijrah anak mumayyiz, dipandang sah bila diijinkan walinya.
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad .
b) Syarat Pelaksanaan ( an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, brang harus dimiliki oleh ‘aqid (orang yang akad) atau ia yang memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diijinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadkan adanya ijarah.
a) Syarat Terjadinya Akad
Syarat Al-inqad ( terjadinya akad) berkaitan dengan akid, zat akad dan tempat akad. Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual beli, menurut Ulama Hanafiyah, ‘Aqid ( orang yang melakukn akad disyaratkan harus berakal dan mumayyiz ( minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijrah anak mumayyiz, dipandang sah bila diijinkan walinya.
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad .
b) Syarat Pelaksanaan ( an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, brang harus dimiliki oleh ‘aqid (orang yang akad) atau ia yang memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diijinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadkan adanya ijarah.
c) Syarat Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan
‘aqid (orang yang akad), ma’qud alaih (barang menjadi objek
akad), ujrah (upah) dan zat akad (nafs al-aqad), yaitu:
a. Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad
Syarat ini didasarkan pada fir man Allah SWT QS. An-Nisa:29
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakai harta sesamamu dengan jalan yang batal, kecuali dengan jalan perniagaan yang yang dilakukan suka sama suka.”
Ijarah dapat dikategorikan jual beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. Syarat ini berkaitan dengan ‘aqid.
b. Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada ma’qud alaih (barang) menghilangkan pertentangan diantara ‘aqid. Diantara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
c. Ma’qud alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’
Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk untuk berbicara dengan anaknya , sebab hal itu sangat mustahil atau dipandang tidak sah menyewa seseorang perempuan yang sedang haid untuk membersihkan mesjid sebab diharamkan syara’.
d. Kemanfaatan benda dibolehkan menurut Syara’.
a. Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad
Syarat ini didasarkan pada fir man Allah SWT QS. An-Nisa:29
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakai harta sesamamu dengan jalan yang batal, kecuali dengan jalan perniagaan yang yang dilakukan suka sama suka.”
Ijarah dapat dikategorikan jual beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. Syarat ini berkaitan dengan ‘aqid.
b. Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada ma’qud alaih (barang) menghilangkan pertentangan diantara ‘aqid. Diantara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
c. Ma’qud alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’
Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk untuk berbicara dengan anaknya , sebab hal itu sangat mustahil atau dipandang tidak sah menyewa seseorang perempuan yang sedang haid untuk membersihkan mesjid sebab diharamkan syara’.
d. Kemanfaatan benda dibolehkan menurut Syara’.
KESIMPULAN
·
jual beli menurut
istilah adalah tukar menukar sesuatu barang dengan barang lain atas dasar suka
sama suka dengan syarat dan rukun tertentu.Hukum jual beli adalah jaiz/mubah
(dibolehkan)
·
Pinjam meminjam
ialah membolehkan kepada orang lain mengambil manfaat sesuatu yang halal
untuk mengambil manfaat nya dengan tidak merusak zat-Nya, dan dikembalikan
setelah diambil manfaatnya dalam keadaan tetap tidak rusak zat-Nya. pinjam
meminjam itu pada hakikatnya boleh-boleh saja, asalkan tidak pinjam meminjam
dalam berbuat kemaksiatan dan dosa.Barang pinjaman kalau hilang atau rusak,
menjadi tanggungan orang yang meminjam dengan harga pada hari rusaknya.
·
Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan
manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan
lain-lain dengan ada imbalannya atau upahnya.
- Dalam memaknai ijarah itu sendiri banyak
perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Namun intinya mereka
menyetujui adanya ijarah setelah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan oleh masing-masing para ulama, sehingga meskipun terjadi
perbedaan didalamnya selalu ada pemecahan persoalan terhadap
permasalahan-permasalan yang timbul dikarenakan hal-hal yang terkait
dengan ijarah itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Kifayatul
Achyar oleh Muhammad Taqiuddin
2.
Fiqh Ala
Mazahib Arba’a oleh panitia negara di Mesir
3.
Mu’ainul Mubin
oleh Abdul Hamid Hakim
4.
Al-Mahalli
Syarah Minhaj Thalibin oleh Jalaluddin
5.
Al-Um karangan
imam Syafi’i
6.
DR. Rachmat Syafe’I, MA. Fiqih Muamalah. Bandung 2000. Hal: 13-16
7.
Drs.H.Hendi Suhendi,M.Si. Fiqh Muamalah. Jakarta 2002. hal: 9-12
8.
Drs. Ghufron A.Mas’adi,M.Ag. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta 2002. hal:
20-32
9.
Drs.Hendi Suhendi,M.Si. Fiqh Muamalah. Jakarta 2002.hal: 34-35
10.
Drs.Ghufron A.Mas’adi,M.Ag.Fiqih Muamalah Kontekstual. Jakarta 2002.
hal: 53-66
Komentar
Posting Komentar